Langsung ke konten utama

WHEN I GET HOME (2019)



      Mungkin bisa dibilang adalah babak ketiga dari trilogi yang dimulai album “True” dan “A Seat at The Table”, atau juga bisa dibilang sekuel dari autobiografi personal “A Seat at The Table”. Tidak ada yang dapat menjelaskan secara periodik, tetapi yang jelas “When I Get Home” tetaplah sebuah sajian eksperimental dari Solange, lebih jauh lagi hingga menyentuh ranah visual album meski hanya dengan total tiga puluh menit. Namun estetika yang diberikan sangat simbolik, ikonik, penuh makna, penuh karakter khas era baru Solange.

       Terdiri dari sembilan belas track, yang sebenarnya tak memiliki runtime terlalu lama tetapi cukup menegaskan bahwa When I Get Home tentunya adalah sebuah concept album. Maka dari itu tidak dapat saya lakukan track by track review, belum lagi saya tentunya tidak dapat menilai interlude. Namun sejauh ini track paling standout di tengah tentunya adalah Almeda. Hasil dari build up terpapar rapih sejak Things I Imagine, S McRegor, Down With The Clique, Way to The Show, Can I Hold the Mic, Stay Flo, Dreams, Nothing Without Intentions, hingga puncaknya menuju Almeda. Sebuah kohesivitas yang sangat presisi dan sempurna. Produksi Earl Sweatshirt dalam track ini tentunya superb, tak ada sample, hanya kreativitas sang produser dipadukan ide visual dan vokal Solange turut dibantu dengann Playboi Carti membuat Almeda terkesan sebagai track komersil dibanding track lain. Dan memang itulah yang terjadi. Selain Binz, Almeda adalah satu-satunya yang dirilis music video secara menyeluruh. Solange tahu betul bahwa ia harus memberikan sentuhan komersil dengan sedikit pop dan trap demi pasar.

    Lalu Jerrod hadir untuk vocal showcase terbaik di album, harmoni dan mungkin sedikit terinpsirasi dari Aaliyah. Overall, album ini memang menurut saya memiliki kesatuan yang erat nan kohesif. Namun masih terlalu eksperimental untuk masyarakat yang lebih awam, hal ini berdampak pada number untuk album ini sendiri, tetapi pada dasarnya bagi penikmat concept album alternatif, album ini sangatlah monumental.

RATING
8/10

Ditulis oleh : Muhammad Boby Primadiansyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOVE,SIMON (2018)

Film-film teenlit yang akrab dengan coming of age memang kerap saya anggap sebelah mata karena kontenya yang memang tak lebih dari sebuah fanservice bagi para remaja labil terutama remaja perempuan.Namun beberapa dari mereka sesungguhnya berkualitas,sebut saja contoh terbaik saat ini adalah Lady Bird,Call Me By Your Name,Moonlight yang bahkan memenangkan Best Picture di ajang oscar tahun lalu, Edge of Seventeen ,hingga yang paling fenomenal yakni Boyhood . Dan saya bisa mengatakan bahwa Love Simon adalah salah satunya. Mengisahkan kisah seorang remaja laki-laki bernama Simon(Nick Robinson) yang memiliki keluarga yang baik,teman-teman yang baik,kehidupan sekolah yang juga cukup baik,dan sesungguhnya tak ada masalah yang terlalu berarti pada hidupnya saat ini dan semua berjalan normal-normal saja.Kecuali satu,bahwa dia harus menerima kenyataan bahwa dia adalah seorang gay dan tentunya ia tak ingin identitasnya itu merusak segala hubungan baik tadi terutama pada ke

MOONLIGHT (2016)

Moonlight banyak dibilang berperan sebagai film yang "penting" pada oscar race pada tahun ini karena tema yang diangkat bukanlah sajian yang mudah dicerna banyak penonton umum.Sebagai contoh tahun lalu Spotlight yang menyandang Best Picture adalah film yang juga mengangkat isu tentang hal yang mungkin tidak banyak diperhatikan orang.Moonlight-pun mengemban tugas yang sama.Di adaptasi dari sebuah Stage Play berjudul In Moonlight,Black Boys Looks Blue ,Barry Jenkins menunjukkan gabungan isu diskriminasi eksistensi kaum kulit hitam,kemiskinan,dan LGBT . Bertutur perihal coming-of-age seorang anak bernama Chiron(Alex Hibbert) bersama ibunya Paula(Naomie Harris), Moonlight dibagi menjadi tiga babak yakni Chiron waktu kecil (Little),Chiron remaja(Chiron),dan Chiron dewasa(Black).Sejak kecil Chiron hidup tanpa ayah dan ibunya yang seorang drug addict yang cenderung abusive padanya.Hingga ia bertemu dengan seorang drug dealer bernama Juan(Mahershala Ali) yang

FENCES (2016)

Fences dan Moonligh t adalah beberapa contoh film adaptasi terbaik tahun 2016.Mengadaptasi dari drama teater karya August Wilson yang juga berpartisipasi menjadi screenwriter pada film ini.Menceritakan seorang pria bernama Troy Maxson yang memiliki hidup penuh liku-liku.Yang dulunya ia pemain Baseball,sekarang ia hanya seorang pekerja Sanitasi di Pittsburgh .Ia tinggal bersama istrinya Rose(Viola Davis) selama delapan belas tahun.Bersama kakaknya Gabriel Maxson(Mykelty Williamson) yang harus mengalami disabilitias akibat Perang Dunia kedua.Lalu putranya Cory(Jovan Adepo) yang berumur tujuh belas memiliki impian yang sama menjadi seorang pemain Baseball.Tentu hal tesebut menimbulkan konflik dengan ayahnya yang dulu juga pemain Baseball namun dipecat akibat diskriminasi kulit hitam waktu itu.Terlihat penuh masalah namun tidak hanya itu,banyak konflik demi konflik menghantui kehidupan-nya.Troy menyebutnya sebagai The Grim Reaper. Ya begitulah,sejatinya Fences juga dimaksudkan